https://www.kabarsawit.com


Copyright © kabarsawit.com
All Right Reserved.

Gamang Petani Sawit Ngabang

Gamang Petani Sawit Ngabang

Cendra Sunardi (kiri) saat berada di kebun salah satu anggota Koperasi Sama Bangun di Amboyo Utara Kecamatan Ngabang Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. foto. aziz

Hasil kebun kelapa sawit program PSR itu tidak maksimal lantaran tidak terawat. Biaya jadi pangkal masalah. Butuh pabrik yang bisa membeli dengan harga yang layak. 

Landak, kabarsawit.com - Kalau saja petani kelapa sawit di Kecamatan Ngabang Kabupaten Landak Provinsi Kalimantan Barat itu bernasib baik, bisa dipastikan produktivitas kebun mereka bakal membikin orang ngiler. 

Soalnya kebun seluas 5200 hektar yang ada sekarang adalah hasil peremajaan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang terbagi dalam tiga tahap. Itu artinya, benih yang ditanam di kebun itu pasti legitimate. Perawatan juga bagus lantaran petani dibekali tata cara yang betul. 

Tapi apalah daya, tidak semua petani di sana punya kemampuan keuangan yang sama. Itulah makanya, dari total luasan kebun yang ada tadi, hanya 30 persen yang terurus, sisanya terlantar lantaran petani tidak punya duit untuk membiayai perawatan.

Malah di antara kebun itu sekarang ada yang sudah diserang oleh kumbang tanduk. Abdul Rani yang salah satunya mengalami itu. Anggota Koperasi Saman Bangun ini punya dua kapling di Desa Sungai Kelik. 

Satu kapling ditanam tahun 2020. Sekarang hasil dari kebun itu sudah mencapai 1,5 ton. Yang satu kapling lagi ditanam lelaki 45 tahun setahun kemudian. Tanaman inilah yang diserang kumbang tanduk itu.  “Daunnya sudah botak,” wajah ayah tiga anak ini muram menceritakan itu. 

Sulitnya petani merawat kebun itu lantaran duit hibah yang diberikan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk meremajakan kebun kelapa sawit mereka, hanya cukup sampai P1 alias tanaman berumur setahun setelah ditanam. Selanjutnya, pandai-pandai petanilah mencari duit untuk merawat tanaman dan kebun itu.

Kalaupun ada program tanaman sela jagung yang dibikin oleh pemerintah daerah, hasilnya cuma cukup untuk makan dan membayar cicilan kredit yang muncul setelah sertifikat kebun digadaikan ke bank. Masih sulit disisikan untuk menopang hidup tanaman baru itu. Yang masih menyimpan sertifikatnya, teramat berat mereka untuk menggadaikan. Mereka takut lantaran harga sawit yang tidak stabil.    

Ketua DPD Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Landak, Cendra Sunardi cerita, semua kebun tadi milik 15 koperasi; sebanyak 4800 hektar milik 11 koperasi yang ditanam pada 2019 dan 2020, sisanya milik 4 koperasi yang ditanam pada 2021. 

"Yang 2019-2020 itu masih pakai skema dana hibah Rp25 juta per hektar. Sekarang sudah menghasilkan sekitar 1-1,4 ton Tandan Buah Segar (TBS) per kapling. Sementara yang 2020 sudah menerima hibah Rp30 juta per hektar. Saat ini tanaman di kebun itu sudah berbuah pasir," lelaki 50 tahun ini merinci saat berbincang dengan elaeis magazine (group kabarsawit.com) di salah satu warung di Desa Amboyo Inti, tiga pekan lalu.  

Sebetulnya bank penampung dana hibah PSR itu kata ayah satu anak ini ada juga menawari mereka pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang nilainya Rp25 juta perorang. Tapi tawaran itu tak bisa dijangkau petani lantaran agunannya harus sertifikat kebun. Sementara sertifikat sudah ‘sekolah’ duluan sebelum replanting. 

Jauh sebelum kaplingan sawit itu ada, warga Landak khususnya Ngabang hanya mengenal kebun karet dan ladang berpindah-pindah. Waktu itu, Landak masih masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Pontianak dan kemudian berdiri sendiri pada tahun 2000. 

Tahun ‘80 an, Presiden Soeharto membikin program pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di tiga daerah di Kalimantan Barat; Ngabang (Landak), Meliau dan Parindu yang kini masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Sanggau.
 
Ngabang menjadi Perkebunan Inti Rakyat (PIR) 5. Dari total lahan yang dibuka oleh Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) VII yang belakangan berubah nama menjadi PTPN XIII, 20 persen menjadi kebun itu dan sisanya plasma. Para peserta plasma ini, 70 persen penduduk asli yang ada di masing-masing daerah itu.  

“Dari tahun 81 hingga tahun 1990, kita masih bersama perusahaan. Tapi sejak 1991 sampai sekarang, kita sudah mandiri meski hasil kebun masih kita jual ke perusahaan hingga tahun 2014. Pabriknya di Amboyo Inti,” cerita Ketua Forum Koperasi ini. 

Ketua Koperasi Sama Bangun ini tak memungkiri, setelah warga menjadi petani sawit, kehidupan mereka perlahan berubah hingga kelihatan menjadi teramat jomplang dengan daerah yang tidak ada kebun sawitnya. “Petani berkecukupan. Kami bisa menguliahkan anak, beli kendaraan dan bahkan membeli kebun baru. Pokoknya petani sejahtera lah,” ujarnya.

Namun setelah tahun 2014 sampai masuk masa replanting, hasil kebun petani dijual bebas, tidak lagi satu pintu. Di mana harga yang paling mahal, ke situ mereka menjual. Oleh situasi yang sudah seperti itu, masalah pun mulai bermunculan. Kebun mulai tidak terawat. 

Di sisi lain, petani sudah pula banyak yang ‘menyekolahkan’ sertifikat kebunnya di bank. Alhasil, banyak kredit macet lantaran tanaman makin tidak menghasilkan. Yang membikin miris itu, banyak petani yang kemudian jadi buruh di kebun-kebun petani yang sudah tergolong sukses. 

“Koperasi tidak berdaya lantaran tidak pernah dilibatkan langsung oleh pabrik. Sudah pernah juga kami menjajaki agar koperasi bisa bermitra dengan pabrik, tapi mentok lantaran koperasi tidak punya modal utk menampung buah petani,” keluhnya.

Oleh situasi yang semakin tak menentu itulah makanya kemudian, petani berharap ada investor yang mau membangun pabrik untuk menampung hasil panen para petani ini. Sebab kalau ditotal, bakal ada sekitar 7000 hektar kebun petani hasil PSR. 

“Dari tahun lalu sampai saat ini, masih ada tujuh usulan lagi dengan luas lahan 1.593,6 hektar. Umur tanaman yang mau diremajakan itu sekarang sudah mencapai 40 tahun. Luasan itu tersebar di Ngabang, Sangah Temila dan Jelipo. Saat ini sedang menunggu telaah gambut. Itu baru cerita kebun yang PSR. Kalau ditotal semua kebun sawit yang ada di Ngabang, mencapai 15 ribu hektar,” Cendra merinci.

Lahan untuk pabrik kelapa sawit itu kata Cendra sudah ada. Boleh dibeli dan boleh juga dikontrak. Hanya saja kalau mau bikin pabrik, petani kata lelaki ini meminta saham 20 persen. “Bebrapa calon investor sudah tertarik, tapi belum ada yang deal. Soalnya petani mau benar-benar bermitra, PKS tidak sekadar beli hasil panen petani,” katanya.

Kalau misalnya BPDPKS mau membangunkan pabrik untuk petani kata Cendra, itu malah akan lebih bagus lagi. Sebab lagi-lagi, potensi hasil panen petani sebenarnya sangat besar bila kebun itu benar-benar terurus.

Agar bisa selalu terurus dengan baik tentu hasil panen petani harus dibeli dengan harga yang wajar. Di Ngabang kata Cendra, bukan tak bejibun PKS, ada 8 unit. Tapi itu tadilah, harga belinya justru membikin petani harus selalu mengelus dada. Berharap dengan PT. Perkebunan Nusantara XIII yang notabene bekas bapak angkat para petani, harga belinya malah jauh di bawah harga beli 8 PKS tadi. 


 

Berita Terkait