https://www.kabarsawit.com


Copyright © kabarsawit.com
All Right Reserved.

Aturan Baru Due Diligence

Aturan Baru Due Diligence

Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung dan Dubes Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Piket. foto. ist

Katanya Uni Eropa tidak lagi mempersoalkan deforestasi masa lalu, tapi setelah tahun 2020.

6 Desember 2022. Menjadi arah baru bagi Uni Eropa untuk berbicara soal penggundulan hutan (deforestasi). Sebab di hari itu, kumpulan 27 negara ini telah mengesahkan Undang-Undang Uji Tuntas Uni Eropa (European Union Due Diligence Regulation). 

Konon undang-undang ini hanya akan mempersoalkan deforestasi setelah tahun 2020. 

Kalau begitu ceritanya, sawit Indonesia yang 16,38 juta hektar itu dipastikan aman. Sebab eksisting kebun kelapa sawit di Indonesia di tahun itu memang sudah segitu luasnya. Kementerian Pertanian yang bilang. 

Nah, aturan main yang dikeluarkan oleh Uni Eropa ini mirip pula dengan isi Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja cluster Kehutanan. 

Di aturan main yang disingkat dengan UUCK itu disebutkan bahwa kelapa sawit yang ditanam sebelum UUCK itu lahir, akan diselesaikan secara ultimum remidium. 

Artinya, kelapa sawit yang sudah tertanam di kawasan hutan sebelum undang-undang itu lahir, akan diselesaikan dengan menjadikan pidana sebagai upaya hukum terakhir. 

Itupun kalau kelapa sawit itu ditanam pada kawasan hutan yang sudah dikukuhkan sesuai pasal 14 dan 15 UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Bukan pada kawasan hutan yang masih berstatus penunjukan. 

Setelah undang-undang baru tadi berlaku, maka perusahaan manapun yang jualan ke Uni Eropa, harus bisa memastikan bahwa dagangannya seperti kopi, kedelai, minyak sawit, cokelat, arang, furniture dan komoditas lainnya, tidak bersumber dari lahan hasil penebangan hutan. 

 

Kepastian itu harus dibikin dalam pernyataan uji tuntas bahwa rantai pasok dagangannya tidak berkontribusi pada perusakan hutan. Kalau kemudian ketahuan dagangannya itu bersumber dari perusakan hutan, bakal didenda sekitar 4% dari omset perusahaan itu di negara anggota Uni Eropa tadi.  

Walau sanksi deforestasi itu dihitung setelah tahun 2020, tak sedikit juga yang protes. Katakanlah Brazil dan Kolombia. Dua negara ini mengatakan kalau aturan baru Uni Eropa itu justru memberatkan lantaran akan membutuhkan biaya yang mahal. 

Mendengar European Union Due Diligence Regulation itu disahkan, Gulat Medali Emas Manurung langsung terbayang saat dia dan sejumlah petani kelapa sawit di Riau ngobrol panjang dengan Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia; Vincent Piket.

Obrolan panjang soal kelapa sawit dan deforestasi itu tak hanya berlangsung di Kantor Staf Presiden di Bina Graha Jakarta, tapi berlanjut ke meja makan bermenu asam pedas baung di Kota Pekanbaru, Riau, pada 15 November tahun lalu. 

Piket diundang oleh Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo) untuk menengok langsung seperti apa para petani menggantungkan hidup dari tanaman kelapa sawit di sana.  
Kepada pengurus Dewan Pimpinan Daerah Apkasindo yang ada di Riau, Piket mengatakan bahwa sebetulnya Uni Eropa tidak lagi mempersoalkan deforestasi masa lalu, tapi justru memandang keberlanjutan itu ke depan.

 

Piket juga tak menampik kalau Uni Eropa sangat membutuhkan minyak sawit. Ini kelihatan juga dari peringkat pembeli minyak sawit Indonesia; Uni Eropa menjadi nomor tiga besar. 

Belakangan, tak hanya Piket yang bilang tak mempersoalkan lagi masa lalu itu. Sederet duta besar negara asing yang ketemu dengan DPP Apkasindo, juga menyiratkan bahasa yang sama. 

Bahwa deforestasi yang dipersoalkan sudah pada kejadian setelah 2020. Ini sekaligus mementahkan usulan 35 Civil Society Organization (CSO) asal Indonesia agar hitungan deforestasi itu dibikin sejak 31 Desember 2000.  

Gulat sendiri sangat menghargai upaya yang dilakukan oleh CSO asal Indonesia itu. Sebab bagi Ketua Umum DPP Apkasindo ini, keinginan CSO itu juga merupakan keinginan mulia dari sisi lingkungan.

Tapi bagi petani kelapa sawit, lingkungan saja tidak cukup. Dimensi ekonomi dan sosial juga teramat penting. Lagi pula, mengedepankan dimensi lingkungan bukan berarti meniadakan dimensi ekonomi dan sosial yang berkembang di tengah masyarakat dan ekonomi Indonesia. 

Gulat memastikan, petani kelapa sawit di Indonesia punya tugas yang sangat prinsip; memastikan usaha tani kelapa sawit mereka tumbuh dan berkelanjutan di antara tiga dimensi utama yang ada; ekonomi, sosial dan lingkungan. 

"Petani sawit justru menggabungkan tiga dimensi itu dalam usaha perkebunan kelapa sawitnya. Masih sedikitnya petani mengantongi sertifikat ISPO --- baru 0,4% dari total luas lahan petani yang mencapai 6,8 juta hektar --- jangan jadi ukuran bahwa pekebun itu tidak berkelanjutan. Justru tugas kita semualah --- termasuk negara yang selama ini menyuarakan EUDDR --- menggotong agar semua petani bisa mengantongi sertifikat ISPO itu, khususnya dari segi pembiayaan,” katanya.

 

Ayah dua anak ini juga minta supaya semua paham bahwa pijakan para petani Apkasindo di 22 DPW Apkasindo se-Indonesia adalah bahwa memandang sawit, mereka lakukan dari Indonesia, bukan dari negara lain. 

“Sebab sawit adalah harapan kami. Ekonomi rumah tangga kami sangat bergantung pada sawit yang kami tanam. Terimakasih kepada rekan-rekan CSO yang terus memberikan masukan dan koreksi untuk keberlanjutan sawit Indonesia dan kami ada di sana dengan tangan terbuka menerima masukan-masukan yang konstruktif itu,” suara doktor agro-ekosistem Universitas Riau ini terdengar bergetar.

Di sisi lain, sebagai generasi milenial sawit, Amir Aripin cuma meminta kepada semua pihak agar sama-sama memahami apa yang dibilang oleh orang-orang asing tadi. Kebetulan waktu Piket datang ke Pekanbaru, Ketua Umum DPP Forum Mahasiswa Sawit (Formasi) Indonesia nimbrung di sana.   

“Saya sendiri mendengar langsung omongan Piket bahwa tidak ada lagi masalah deforestasi, sudah kelar. Yang ditengok justru ke depannya. Kok orang kita masih ungkit-ungkit masa lalu sih?" Amir bertanya.

Dengan tegas, Amir bilang bahwa sawit adalah masa depan mereka, mata pencaharian orang tua mereka dan 17 juta petani sawit dan pekerja sawit lainnya. "Merusak citra sawit, berarti merusak masa depan kami anak-anak petani sawit. Tolong ya, berhentilah merecoki bangsa sendiri,” pintanya.