https://www.kabarsawit.com


Copyright © kabarsawit.com
All Right Reserved.

Cerita Sukses Petani Sawit Plasma

Di Dayun Mereka Sejahtera

Di Dayun Mereka Sejahtera

Joni sedang memanen sawit. foto: herman

Tak pernah terbayang oleh Suyanto akan bisa merasakan kehidupan seperti sekarang. Punya rumah beton berukuran 7x11 meter, punya mobil Rush dan bahkan sudah pula punya 3 kaplingan --- istilah kebun sawit seluas 2 hektar bagi warga transmigrasi --- kebun sawit. 

Di Koperasi Unit Desa Makarti Sawit di Kampung Buana Makmur Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Provinsi Riau tempat dia tinggal sekarang, Suyanto sudah dipercaya pula menjadi bendahara sejak 6 tahun silam.  

Dengan kondisi kehidupannya yang sekarang, kemana-mana lelaki ini tak perlu berpikir panjang, termasuk untuk sekadar liburan bersama keluarga. 

"Kalau pulang ke kampung, sudah sangat jarang. Soalnya orangtua sudah nggak ada. Kalau misalnya masih ada, insya allah enggak susahlah untuk mengunjungi orangtua," lelaki ini tertawa.   

Masih jelas terbayang dalam benak ayah tiga anak ini. Pada 30 tahun lalu, kehidupannya tergolong ruwet di kampungnya, di kawasan Rungkut, Kota Surabaya, Jawa Timur. 

Jebolan SMP Bakti Rungkut ini, hanya bisa menjadi kuli bangunan, persis kayak ayahnya yang juga berprofesi yang sama. 

"Kami enggak punya sawah atau ladang. Jadi, kehidupan keluarga hanya bergantung pada hasil bapak yang kerja serabutan. Itulah makanya kehidupan kami waktu itu benar-benar sulit," kenang bungsu dari 5 bersaudara ini saat berbincang dengan Elaeis Media Group tiga hari lalu. 

Suyanto. foto: herman

Sempat juga Suyanto puyeng dengan kondisinya saat itu. Namun secercah mulai dia pupuk ketika abangnya, Sugiyono mengajaknya ikut mendaftar menjadi peserta transmigrasi. 

"Nanti, setiap yang ikut transmigrasi bakal dikasi rumah, dikasi tanah," uraian inilah yang membikin Suyanto langsung tergiur. 

Tapi, untuk mendaftar menjadi peserta transmigrasi, Suyanto musti menikah dulu. Sebab syarat peserta memang harus sudah menikah. 

Untunglah waktu itu lelaki ini sudah punya pacar. Namanya Hartini. Diapun bergegas melamar perempuan itu dengan mahar apa adanya. 

"Waktu itu saya bilang sama dia kalau setelah menikah, kita akan pergi merantau jauh, menjadi warga transmigrasi. Alhamdulillah dia manut saja," ujarnya. 

Setelah resmi menjadi seorang suami, Suyanto pun mendaftar menjadi peserta transmigrasi. Setengah bulan dia ikut pelatihan terkait ketrasmigrasian di kawasan Pandaan, Kabupaten Pasuruan.

"Sampai kelar pelatihan, saya belum bisa membayangkan seperti apa nanti di tempat transmigrasi itu. Yang membikin saya terus semangat ya membayangkan bakal dapat rumah dan tanah itulah," dia tertawa. 

Lantaran masih kerja serabutan, Suyanto belum sanggup untuk mengontrak rumah untuk tempat mereka tinggal. Untung saja di Rungkut, ada rumah milik Departemen Sosial. Di sanalah mereka tinggal, sembari menunggu pemberangkatan. 

Setelah enam bulan, tanda-tanda akan diberangkatkan pun nampak. Benar saja, Januari 1995, Suyanto dan istrinya sudah berangkat naik angkot ke komplek Wisma Transito milik Departemen Transmigrasi di Surabaya.

Di sana, rupanya sudah ada 36 kepala keluarga yang berkumpul untuk kemudian mereka sama-sama diberangkatkan naik kereta api dari Surabaya ke Stasiun Senen di Jakarta. 

"Dari stasiun Senen, kami disuruh naik bus yang telah disediakan menuju pelabuhan Tanjung Priok. Dari sana, kami naik kapal Angkatan Laut menuju Pelabuhan Dumai, Riau. Ada ratusan warga transmigrasi di kapal itu. Enam hari lima malam baru kami sampai di Dumai," kenang Suyanto. 

Dari Dumai, Suyanto dan warga lain tidak langsung ke Dayun, tapi transit dulu ke Wisma Transito di kawasan Adi Sucipto Pekanbaru. 

"Dua malam di sini, barulah kami naik bus Trio Trans menuju Dayun. Waktu itu, jalan menuju Dayun masih belum kayak sekarang. Jembatan belum ada dan masih aspal minyak," terangnya.  
   
Gurat ceria langsung berpendar di wajah Suyanto setelah menengok jejeran rumah transmigrasi di SP 11 --- sebelum berubah nama menjadi Kampung Buana Makmur. 

"Tanah pekarangan rumah luas. Inilah yang kemudian saya manfaatkan dengan optimal. Terus terang, saya pekerja keras. Jadi apa saja yang bisa menghasilkan, saya usahakan di lahan itu," katanya. 

Dari hasil kaplingan dan hasil pekarangan yang terus diusahai Suyanto, dia kemudian bisa membeli kaplingan orang di kampung itu yang kebetulan ada yang menjual. 

Perlahan, rumah papan bikinan pemerintah berukuran 6x6 yang menjadi tempat dia selama ini tinggal, dia rehab. 

"Alhamdulillah. Saya mensyukuri semuanya. Intinya sih kerja keras. Kalau sedari awal semua warga transmigrasi bekerja keras, saya yakin akan sukses. Tentu semuanya juga atas ridho Allah SWT," katanya.   

Tak berlebihan Suyanto melontarkan prinsip  seperti itu. Joni saja yang baru merantau ke Kampung Suka Mulya (SP12) --- tetangga Kampung Buana Makmur --- dari kawasan Deli Serdang Sumatera Utara (Sumut) pada 2008 silam, hidupnya sudah enak. 

Begitu menikah dengan Berliana Butar-butar di Indrapura, Sumut, pengantin baru ini langsung berangkat ke Suka Mulya. 

"Kami enggak ada modal apa-apa. Hanya semangat kami berdua saja. Di kampung ini, kami menumpang di rumah kosong yang kebetulan ada jalur 4. Rumah itu masih rumah asli transmigrasi. Rumah papan berukuran 6x6 meter," kenang Joni saat berbincang dengan Elaeis Media Group. 

Lantaran pantai bergaul, tak sulit bagi lelaki 41 tahun ini untuk mendapat pekerjaan. Warga yang punya kaplingan sawit mempercayakan kepadanya untuk memanen dan menimbang sawit. "Pagi memanen, sore menimbang. Istri saya ikut mengutip brondolan," katanya. 

Bekerja tak kenal capek itu akhirnya berbuah hasil. Joni bisa membeli tapak rumah berukuran 12,5x 20 meter tak jauh dari tempat dia tinggal. Hanya berjarak kurang dari 100 meter. 

Tak lama kemudian, rumah papan yang ditempati Joni, ternyata mau dijual oleh yang punya. Tak pikir panjang lelaki bertubuh kurus ini membelinya. "Rumah itulah yang saya pindahkan ke tapak yang saya beli tadi. Yang dijual memang hanya rumah itu," ujarnya. 

Semakin hari, ekonomi Joni semakin membaik. Pada 2013, dia sudah bisa pula membeli lahan pekarangan milik warga transmigrasi seluas 50x100 meter. Lahan pekarangan itu sudah berisi tanaman kelapa sawit. 

Empat tahun kemudian, lahan disebelah dijual pula. Luasnya sama. Joni langsung membelinya lantaran sudah juga berisi tanaman kelapa sawit. 

"Setahun kemudian ada pula yang jual lahan kaplingan (2 hektar). Alhamdulillah bisa saya beli. Jadi, sampai sekarang sudah punya lahan kebun sawit seluas 4 hektar. Yang 2 hektar berasal dari hasil beli lahan-lahan pekarangan," ayah tiga anak ini merinci. 

Meski sudah punya kebun sendiri, Joni masih tetap menjadi buruh panen dan buruh timbang. Lagi-lagi, aset Joni bertambah lagi. Dia sudah pula membeli tapak rumah yang lebih luas di Jalur 1; 15x100 meter. 

Selain aset bertambah, Joni sudah pula bisa mempercantik rumahnya meski hanya di bagian belakang. Di belakang rumah papan tempat dia tinggal sekarang, ditempelkan bangunan beton berukuran 5,5x9 meter. Terios juga sudah parkir di depan rumahnya. 

"Sewaktu anak masih satu dan masih kecil, saya memang optimalkan waktu untuk mencari uang. Sebab kalau anak sudah banyak, pengeluaran juga akan terus bertambah," katanya. 

Terus, mengelola uang dengan baik menurut Joni, telah menjadi kunci keberhasilan rumah tangganya. "Di Riau ini kan apa-apa mahal. Jadi, kalau kita enggak bisa mengelola uang, akan susah kita," ujarnya. 

Selain telah mudah menyekolahkan tiga anaknya, Joni juga sudah semakin bisa rutin mengirim duit untuk orang tua dan mertuanya. 

"Dari kami mulai menghasilkan, kami memang sudah sering mengirim untuk orang tua. Baik itu orang tua saya, maupun mertua. Kan enggak harus kaya dulu baru kita ngirim," lelaki ini tersenyum. 

Kini, sembari mengelola lahan miliknya dan masih menjadi buruh panen, ada terbersit dalam benak Joni untuk membangun rumah yang bagus di lahan tapak rumah yang dia beli di Jalur 1 itu. 

Besar keinginan dia untuk tinggal di sana. Sebab dengan lahan yang panjangnya 100 meter, kelak dia akan bisa sekalian beternak ayam dan itik. 

"Lagi-lagi saya bilang, mumpung masih muda, kerja keras sajalah terus. Kerja keras ini musti diimbangi dengan pendekatan diri dengan sang pemilik hidup. Terus, selalu meminta doa kepada orangtua dan mertua. Sebab meski mereka enggak bisa memberi secara materi, tapi doa-doanya telah lebih dari itu. Saya yakin, oleh doa-doa mereka jugalah yang membuat rezeki kami lancar," dia yakin.