Cerita 5 Sekawan di UPP Pasir Pangaraian
Ada 30 orang mahasiswa Beasiswa Sawit di Universitas Pasir Pangaraian. Warna-warna perjalanan mereka.
Lebih dari dua jam berbincang dengan lima orang anak muda di bawah Saung yang ada di seberang kampus Fakultas Pertanian Universitas Pasir Pangaraian (UPP) itu, benar-benar terasa singkat.
Warna-warna kisah mereka hingga bisa menjadi mahasiswa Beasiswa Sawit Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dan kemudian berkuliah di kampus yang berada di kawasan Rambah Hilir Kabupaten Rokan Hulu (Rohul), Riau, itu, menjadi musababnya.
Maklum, dari kelimanya, hanya Siti Aisyah yang kampungnya dekat, masih di Rohul, meski rumah orang tuanya berada di kawasan perbatasan antara Rohul dan Kampar. Tapi dia hanya membutuhkan waktu sekitar 3 jam untuk sampai di Pasir Pangaraian.
Tapi Tisan Saputra, justru berasal dari Mukomuko Bengkulu, Christine Eesterina Boru Siregar dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah (Kalteng), David Rivaldo Waramui dari Manokwari Papua Barat dan Yopince Debora Yare dari Jayapura, Papua.
Semuanya tak pernah menyangka bisa mendapatkan beasiswa sawit ini. Sebab macam-macam persoalan yang mereka hadapi. Mulai dari yang tadinya tidak usah kuliah dulu lantaran keterbatasan biaya, hingga sudah sempat diterima di perguruan tinggi negeri tapi mundur lantaran mentok oleh keuangan. Siti Aisyah yang mengalami itu.
Tisan sendiri, terpaksa harus bekerja di toko bangunan dulu di kampungnya lantaran tak ada biaya untuk kuliah. Bapaknya yang hanya karyawan rendahan bilang, biar selesai dulu kuliah kakak nya di Padang Sumatera Barat (Sumbar), baru anak kedua dari tiga bersaudara ini boleh kuliah.
“Kalau menunggu kakak kelar, berarti saya musti nunggu dua tahun lagi. Sementara jadi buruh toko bangunan saja saya, sudah banyak orang yang mencemooh. Ngapain juga sekolah sampai SMA kalau hanya jadi pekerja toko bangunan,” mata lelaki ini berkaca-kaca saat berbincang dengan Elaeis Media Group, Sabtu pekan lalu.
Sama seperti Tisan, Siti Aisyah dan Christine juga terbentur masalah ekonomi. Christine yang anak pertama dari dua bersaudara itu sempat akan mengubur keinginannya untuk kuliah lantaran keadaan ekonomi orang tua.
Orang tua Christine sebenarnya sempat jaya secara ekonomi, ayahnya sempat menjadi petinggi di perkebunan kelapa sawit dan ibunya kepala sekolah. Namun entah kenapa kemudian, keduanya resign dan memilih untuk menjadi petani kelapa sawit.
“Kebun sawit kami hanya dua hektar. Itulah yang menjadi tumpuan. Makanya bapak saya bilang untuk kuliah ditunda dulu. Meski begitu, diam-diam saya coba juga ikut Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Saya memilih Universitas Diponegoro, tapi belum berhasil,” kenangnya.
Siti Aisyah, meski lulus SNBP, dia terpaksa mundur dari Universitas Riau lantaran tak sanggup membayar Uang Kuliah Tunggal yang untuk ukuran kocek Abahnya Fendy, teramat tinggi.
Lelaki 64 tahun yang sudah sakit-sakitan itu angkat tangan lantaran penghasilannya dari pekerja serabutan tidak memadai.
Kalau Siti, Tisan dan Christine kepentok biaya hingga harus menunda kuliah, David dan Yopince justru disuruh orangtuanya kuliah.
David pun memilih untuk kuliah di Universitas Papua di Manokwari saja dan Yopince akan menyusul abangnya untuk kuliah di Universitas Cendrawasih Jayapura.
Namun disaat mereka akan menuju ke sana, masing-masing keluarga mereka menyodorkan informasi beasiswa sawit. Tadinya Yopince berharap bisa lulus di kampus beasiswa sawit yang ada di Yogyakarta saja. Namun nasib berkata lain, dia bertemu dengan David di UPP itu.
UPP sendiri adalah satu dari 23 kampus penyelenggara beasiswa sawit yang menjadi mitra BPDPKS. Ke semua kampus inilah 3000 mahasiswa beasiswa sawit yang lulus tahun ini.
UPP yang baru tahun ini menjadi penyelenggara beasiswa, kebagian 30 orang. Semuanya jurusan Agroteknologi program strata satu.
Selengkapnya baca di Elaeis Magazine Edisi 05 Vol. IV Tahun 2024