https://www.kabarsawit.com


Copyright © kabarsawit.com
All Right Reserved.

Sebentar Lagi Bakal Ada PKS Model Baru. Vitamin CPO nya mencapai 90%

Sebentar Lagi Bakal Ada PKS Model Baru. Vitamin CPO nya mencapai 90%

Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga. foto: ist

Jakarta, kabarsawit.com - Kalau tak ada halangan, dua bulan lagi Indonesia sudah punya yang namanya Steam-less Palm Oil Technology & Impuritues Removal Unit (SPOT&IRU) atau Pabrik Minyak sawit Tanpa Uap (PMTU) alias Dry Process yang bakal menghasilkan Superior Palm Oil (SPO).  

Walau masih hanya berkapasitas 10 ton Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit per jam, pabrik itu justru menjadi sangat penting. Sebab akan ditunjukkan oleh Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga pada acara Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Bali November mendatang. 

"Di KTT itu akan saya bilang, inilah hasil karya anak Samosir (Pulau Samosir Sumatera Utara) itu," tertawa ayah tiga anak ini mengatakan itu. 

Kalau saja Sahat tidak jumpa dengan temannya yang orang Afrika itu di Jakarta medio 2016-2017 silam, bisa jadi Magister Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) ini belum akan membikin pabrik semacam itu.

Dan bisa jadi pula, dia tak akan sampai nyaris dikecam oleh orang Malaysia pada acara World Palm Oil Confrence yang digelar di Kuala Lumpur, Malaysia, 20-21 September lalu. Kebetulan lelaki 76 tahun ini menjadi salah satu pembicara di acara itu.        

"Bapak dan ibu, kita sudah lama menjalankan usaha sawit. Pertanyaan saya, apa kita tahu sawit ini?" begitulah omongan Sahat waktu itu. 

Walau pertanyaan itu terkesan sederhana, rupanya ada juga yang gusar. "Apa maksud bapak bertanya seperti itu? Kita kan sudah memproduksi sawit begitu banyak," salah seorang  peserta dari Malaysia berkomentar.

"Iya betul. Hanya saja saya berpikir kita pura-pura mengerti, padahal sebenarnya kita tidak tahu," lelaki 76 tahun ini menjawab.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) ini pun menghamparkan soal pabrik model baru tadi. Mendengar penjelasan panjang lebar itu, orang Kongo yang ikut dalam konfrensi itu langsung mengajak Sahat  pertemuan khusus. 

Alhasil, Nigeria, Kongo dan Ivory Coast (Pantai Gading) langsung memesan SPOT&IRU itu. Sahat menyuruh mereka datang ke Indonesia pada bulan puasa tahun depan untuk menengok SPOT&IRU itu. 

Lantas, seperti apa perbincangan Sahat dengan temannya yang Afrika tadi? 

Waktu itu Sahat bertanya,"Kenapa kalian tidak memakai sawit asal Indonesia?" 

"Minyak sawit asal Indonesia eggak ada rasanya. No tekture," enteng si Afrika ini menjawab. Sahat justru kaget mendengar itu. 

Baca juga: PKS Sangat Tidak Ramah Lingkungan, Segini Emisi Yang Dihasilkan. Fantastis!

"Ada rupanya rasa sawit itu. Kayak kita makan andaliman (rempah khas di Tanah Batak Sumatera Utara) lah. Yang tahu seperti apa rasanya ya orang yang memakan andaliman itu lah. Nah, kalau sawit itu punya rasa, berarti selama ini Indonesia keliru memprosesnya," Sahat menyimpulkan. 

Biar getir (rasa) itu benar-benar dapat kata Sahat, proses pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) menjadi Crude Palm Oil (CPO) harus dilakukan pakai cara Dry Process. Tidak lagi dengan Wet Process. 

Temperatur dry process ini enggak boleh lebih dari 100 derajat, biar vitaminnya tetap ada di dalam. 

Sahat kemudian membikin perbandingan; kalau TBS diolah pakai wet process, vitamin yang tersisa setelah TBS diolah menjadi CPO hanya sekitar 40%. 

Itu terjadi lantaran pada wet process, temperatur saat memproses TBS menjadi CPO sangat tinggi. Tekanannya sampai tiga bar; 142 derajat celcius. 

"Dengan temperatur setinggi itu, gizi di sawit menjadi rusak. Nah, kalau pakai dry process, yang tinggal di CPO masih 90%. Itu terjadi lantaran itu tadi, temperatur saat memproses TBS menjadi CPO tak sampai 100 derajat," terangnya.   

Di Afrika kata Sahat, setelah TBS menjadi CPO, vitaminnya masih 100%. Soalnya orang Afrika mengolah TBS nya pakai kukusan, tidak pakai steam tekanan tinggi. 

Sudahlah vitamin-vitamin semacam ini menjadi andalan untuk memerangi stunting, pabrik SPOT&IRU ini bisa pula dibangun dimana saja, lantaran tak harus dekat dengan sungai. 

Lagi pula, dry process ini kapasitas kecil-kecil saja. sangat cocok untuk petani, biar ongkos angkut lebih murah dan limbahnya pun sedikit.

"Emisi yang dihasilkan sangat rendah, hanya sekitar 210 kilogram CO2e per satu ton CPO," katanya. 

Kalau emisi yang dihasilkan sudah segitu, otomatis sudah sesuai dengan tuntutan Eropa. Enggak ada lagi alasan Eropa bilang emisi karbon sawit Indonesia tinggi.